Wednesday 1 June 2016

Ketika Garis Menjadi Titik

Precaution :
Penulis tidak bertanggung jawab akan adanya perasaan yang tergores karena membaca tulisan ini, maupun air mata dan darah yang menetes karena luka-luka lama yang terbuka kembali. Bila sakit berlanjut, hubungi dokter atau RT RW setempat.



Waktu berlalu, cerita-ceritaku pun akhirnya terhenti. Sembari aku menghisap Boldku ini, aku mencoba menorehkan lagi tinta-tinta hitam yang mewakili rasa dan asa yang berkecamuk di dalam dada. Entah mengapa, tanganku tetap menggoreskan namamu, nama yang telah merobek dan memutilasi hati dan perasaan yang dimana hanya ada namamu yang tertulis disana. Kata mereka, aku harus berhenti, karena bila tetap kuteruskan, maka hatiku akan hancur berkeping-keping dan waktuku pun akan terbuang percuma. Pada awalnya, aku tidak mengindahkan kata-kata mereka, karena aku berpikir bahwa aku masih bisa melanjutkan usahaku untuk membacamu. namun ternyata membacamu adalah sandi yang benar-benar terenkripsi dan hanya kamu yang memiliki decryptornya.

Hatiku mulai tersadar, mataku pun juga mulai terbuka. Hatiku sedikit tersadar akan buaian buaian mimpi indah yang pada akhirnya hanyalah terasa seperti air accu yang sedikit demi sedikit menghancurkan kain putih yang aku miliki. Matakupun mulai bisa membaca dan otakku pun mulai bisa menggunakan logika lagi, bahwa kita tidak pernah berada dalam satu halaman yang sama, yang memungkinkan kita berkolaborasi menuliskan cerita-cerita indah yang hanya kita yang tahu apa kisah tangis dan tawa dibalik kolaborasi itu.

Pada akhirnya, hanya akulah yang menulis cerita itu. Cerita yang sebenarnya bukanlah sebuah cerita fiksi, namun angan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih itu hanya tetap akan menjadi sebuah mimpi. Ketika aku menulis cerita ini pun, aku hanya menggunakan satu tangan, ketika tangan yang lain mencoba menggapai tangan yang lain untuk berkolaborasi, atau bisa dikatakan seperti bertepuk tangan, namun hanya dengan satu tangan. Tidak akan ada hasilnya. Percuma bila tetap dilanjutkan.

Sekarang aku sadar, aku tidak memiliki jalan lain lagi selain pergi dari sekarang, toh, dia memiliki cara sendiri untuk bahagia dan akupun memiliki cara lain untuk mencoba membahagiakan diriku sendiri. Kutarik kembali janjiku untuk menunggumu sampai kamu bisa melihat lagi, karena selama ini menunggupun kurasa tidak akan ada hasilnya jika tidak pernah sejalan dari awal, yang ada hanyalah membuatku putus asa dan menyakiti diriku sendiri. Semuanya hanya akan terbuang percuma, seperti saus dan sambal sisa French Friesmu ketika udara telah memenuhi pembungkus makananmu itu.

Lalu sebagai penutup cerita, aku hanya memiliki satu pertanyaan; Akukah yang sebegitu buta mencintaimu sehingga tidak mengindahkan semuanya, atau kamulah yang benar-benar buta?

No comments:

Post a Comment