Thursday 1 December 2016

Should we married?

Sebelum membaca, tolong jauhkan pikiran anda dari kitab-kitab agama anda sekalian.



Menikah atau memiliki pasangan, di abad ke 21 ini, memiliki suatu kandungan arti yang berarti "harus". Padahal, menikah atau memiliki pasangan sebenarnya adalah suatu pilihan. Kata "harus" di dalam KBBI (kamus besar bahasa inggris) memiliki kekuatan yang berisi paksaan, mau tidak mau, seperti tujuan akhir dalam hidup adalah menikah atau memiliki pasangan. Saya, personal, juga pada awalnya berpikir bahwa memiliki pasangan adalah suatu goals, yang telah menjadi suatu keharusan pada kehidupan bermasyarakat ini. Di samping itu, tekanan dari teman bergaul pun menjadi suatu alasan kenapa kita merasa seperti harus memiliki pasangan, terutama setelah muncul jokes tentang jomblo (atau saya lebih prefer mengatakan single) (untuk kalian yang masih menggunakan konotasi jomblo, dan menjelek jelekkan orang yg single, please don't be childish. grow up.).

Di mata masyarakat Indonesia, single adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki pasangan, dan berkonotasi jelek karena sebagian besar memberikan arti "tidak laku", padahal tiap manusia memiliki sexual preferences sendiri-sendiri. ada yang menjadi single karena memang tidak laku (maaf), ada yang memang memilih menjadi single karena memang itu pilihan dia, ada juga yang memang memilih mendeklarasikan dirinya single karena di Indonesia LGBT adalah sesuatu yang tabu, tidak normal. padahal kan, urusan hati itu tidak ada aturannya dalam UUD. #LoveWins #gasupportLGBTtapibodoamat

Setelah membaca buku mbak Ayu Utami berjudul Si Parasit Lajang, pikiranku mulai dibuka oleh opini-opini  mbak Ayu tentang mengapa menikah tidaklah seharusnya menjadi sesuatu yang diharuskan. Awalnya, saya kontra sekali dengan tulisan-tulisan mbak Ayu ini (dengan pikiran orang Indonesia yang normal dan sedikit geser). Ada satu baris dari Mbak Ayu yang bertuliskan seperti ini :

"Jika suatu tugas dipaksakan kepada yang tidak cakap, hasilnya adalah kekacauan. Perceraian perselingkuhan, saling sambit dalam keluarga, dan anak-anak yang broken home."

Baris diatas cukup mengemplang pikiran saya. Memang, semua jabatan official maupun non-official bila diberikan kepada tangan yang salah akan menghasilkan sesuatu yang buruk. Termasuk dalam keluarga, bila seseorang tidak cocok menjadi suami ataupun istri, pasti terdapat perselingkuhan, pengkhianatan, dll, sehingga saya mulai berpikir seperti Mbak Ayu, yang mengatakan bahwa pernikahan itu bukan harus, melainkan perlu. Perlunya, ya bagi yang membutuhkan saja.

Kalau kalian ingin menggunakan agama untuk menguatkan kepercayaan kalian, silahkan. Sekalian, saya ingin bertanya kepada kalian. Bila salah satu pelaku pernikahan hanya menginginkan sex activitynya, lalu meninggalkan tugas sebagai suami / istri, apakah masih tetap membuat pernikahan itu menjadi sesuatu yang baik?

kalo semata2 buat seks mending jajan aja, dosanya sama bisa ganti2 pula.

No comments:

Post a Comment